SKRIPTORIUM DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN

Surau Mato Aia Pakandangan

Surau Mato Aia Pakandangan terletak di daerah Sarang Gagak, Nagari Pakandangan, Kecamatan Enam Lingkung, Kabupaten Padang Pariaman. Surau ini didirikan oleh Syekh Amiluddin bin Abdullah yang bergelar Syekh Mato Aia. Syekh Amiluddin lahir pada hari Senin tahun 1789. Tidak diketahui kepada siapa saja Syekh Amiluddin belajar, namun ia banyak mencetak ulama-ulama terkenal setelahnya, seperti: Syekh Abdurrahman Bintungan Tinggi, Syekh Ismail Kiambang, Syekh Muhammad Yatim Tuanku Ampalu, dan Syekh Zakaria Labai Sati Malalo. Pada surau ini masih tersimpan sebuah manuskrip khutbah dua hari raya dengan panjang mencapai 5,57 meter. Pada bagian atas dan sisi teksnya terdapat hiasan iluminasi yang indah. Selain itu, terdapat sebuah naskah cetak karya Syekh Mato Aia yang menceritakan perjalanan naik hajinya.

Surau Pondok Ketek

Surau Pondok Ketek terletak di Nagari Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman. Surau Pondok Ketek awalnya adalah tempat tinggal Syekh Burhanuddin Ulakan, ulama yang menyebarkan agama Islam di Minangkabau. Sekarang, bangunan Surau Podok Ketek diperbesar dan diperluas, karena tidak cukup menampung jemaah yang datang untuk berziarah. Surau Pondok Ketek menyimpan banyak koleksi manuskrip yang merupakan peninggalan dari Syekh Burhanuddin Ulakan. Terdapat 53 (lima puluh tiga) bundel manuskrip di Surau Pondok Ketek, namun yang bisa diselamatkan hanya 48 (empat puluh delapan) bundel manuskrip, lima manuskrip dalam keadaan rusak parah. Manuskrip di Surau Pondok Ketek terdiri dari teks-teks: fikih, tasawuf, gramatikal arab, tauhid, azimat dan mantera, dan sejarah. Salah satu manuskrip yang tersimpan di Surau Pondok Ketek adalah manuskrip karya Syekh Burhanuddin yang berjudul Tadzkir al-Ghabi.

Surau Bintungan Tinggi

Surau Bintungan Tinggi terletak di Nagari Padang Bintungan, Kec. Nan Sabaris, Kabupaten Padang Pariaman Surau ini didirikan oleh Syekh Abdurahman pada tahun 1864. Menurut informasi yang disampaikan oleh pewaris Surau Bintungan Tinggi yaitu Asril Ma’az, Syekh Abdurrahman merupakan anak dari pasangan Syekh Ibnu Muttaqin dan Pik Mande. Syekh Abdurrahman lahir pada tahun 1827. Ayah Syekh Abdurrahman yaitu Syekh Ibnu Muttaqin adalah seorang ulama yang dikenal dengan Syekh Tabad Yada yang merupakan anak dari Syekh Abdurrahman khalifah pertama Syekh Burhanuddin.
Pada usia 15 tahun, Syekh Abdurrahman diserahkan oleh ayahnya untuk belajar ilmu agama kepada Syekh Jakfar Tahir Ulakan di Surau Tanjung Medan Ulakan selama 17 tahun. Setelah mendapat ijazah, Syekh Abdurrahman membantu gurunya Syekh Jakfar Tahir mengajar selama 7 tahun. Pada tahun 1864 Syekh Abdurrahman kembali ke Bintungan Tinggi dan mendirikan surau, serta mengajarkan agama islam di sana. Pada tahun 1908 dibangunlah surau baru yang lebih besar dari surau pertama. Pengerjaannya dipimpin oleh Tuanku Khatib Koto Baru. Bangunan baru mendapat pengaruh arsitektur Minangkabau, seperti bentuk atap gonjong dan penggunaan ragam hias. Syekh Abdurrahman wafat pada hari Senin 17 Rabiul Awal 1927, ia dimakamkan di gobah yang bersebelahan denan Surau Bintungan Tinggi.
Surau Bintungan Tinggi menyimpan sebanyak 36 (tiga puluh enam) buah manuskrip. Manuskrip tersebut berisak teks-teks keagamaan, seperti: Fikih, tauhid, gramatikal arab, tasawuf, alquran, dan lain sebagainya.

Surau Lubuk Ipuh

Surau Lubuk Ipuh terletak di Korong Lubuk Ipuh, Nagari Kuraitaji Timur, Kecamatan Nan Sabaris, Kabupaten Padang Pariaman. Surau Lubuk Ipuh didirikan oleh Syekh Jangguik Hitam yang merupakan murid dari Syekh Burhanuddin. Syekh Jangguik Hitam memiliki seorang cucu yang bernama Abdurrahman yang kemudian mewarisi Surau Lubuk Ipuh.
Surau Lubuk Ipuh mengalami perkembangan yang signifikan di masa Syekh Abdurrahman. Karena kealimannya, Syekh Abdurrahman menghabiskan hari-harinya dengan mengajar, sehingga agak sulit baginya mengawasi perilaku beragama masyarakat Lubuk Ipuh. Untuk mengatasi agar tidak terjadi kekhilafan dalam beribadah pada masyarakat, Syekh Abdurrahman membuat sebuah panduan atau tuntunan beragama untuk masyarakat Lubuk Ipuh, panduan itu kemudian dikenal dengan nama Risalat Lubuk Ipuah. Pada masa Syekh Abdurrahman pernah terjadi perdebatan antara Syekh Abdurrahman Lubuk Ipuh dengan Syekh Daud Sunur. Perdebatan itu dimenangkan oleh Syekh Abdurrahman, sehingga Syekh Daud Sunur harus meninggalkan kampung halamannya disebabkan rasa malu.
Surau Lubuk Ipuh memiliki peninggalan berupa manuskrip sebanyak 82 (delapan puluh dua). Manuskrip koleksi Surau Lubuk Ipuh terdiri dari teks-teks: fikih, tafsir, tasawuf, Al-Quran, tauhid, gramatikal arab, mantiq, sejarah, dan astrologi.