SKRIPTORIUM DI KABUPATEN SIJUNJUNG

Surau Tinggi Calau

Surau Tinggi Calau terletak di Nagari Muaro, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung. Surau Tinggi Calau didirikan oleh Syekh Abdul Wahab sekitar abad 19. Syekh Abdul Wahab berasal dari Tanjung Bonai Aur, karena beberapa hal ia harus meninggalkan Tanjung Bonai Aur dan sampai di Calau.
Surau yang pertama dibangun yaitu Surau Tinggi yang berbentuk menyerupai rumah adat di Minangkabau yang memiliki tanduk. Hal tersebut bermakna kesepakatan ninik mamak orang adat dengan orang agama (Ulama), kemudian beliau membangun Surau Tuo dan Surau Masjid. Ketiga surau inilah yang menjadi surau pokok di Kampung Calau. Menurut sejarahnya, di Surau Tuo beliau tempatkan guru beliau yang berasal dari Pangian Lintau Buo. Sedangkan pada Surau Masjid itu pembangunannya dimotori oleh orang-orang dari Nagari Padang Laweh yang ada pada masa itu. Beliau juga menempatkan murid beliau yang merupakan orang Nagari Sijunjung yang saat itu tinggal di antara Batang Hari dengan Sungai Pugu yang juga merupakan kemenakan dari Tuanku yang bertempat di Pudak Sijunjung. Di Kampung Calau ini, selain mengajarkan ilmu agama. Syekh Abdul Wahab juga membangun perekonomian dengan menanam kelapa pada lingkungan Kampung Calau dan membuat kolam ikan. Di antara kolam itu ada tiga buah kolam yang hasilnya diperuntukan bagi kepentingan surau.
Surau Calau memiliki ratusan koleksi, namun yang tersisa hanya sebanyak 99 (sembilan puluh sembilan) bundel. Hal ini disebabkan karena Surau Tinggi Calau pernah terbakar pada tahun 1940. Dari 99 bundel manuskrip yang ditemukan di Surau Tinggi Calau ditemukan beberapa manuskrip yang memiliki iluminasi, seperti pada manuskrip Al-Quran, khutbah dua hari raya, dan sirah nabawiyah.

Surau Syekh Muhammad Yasin

Surau Syekh Muhammad Yasin terletak di Jalan Koto Panjang, Tanjung Ampalu, Kec. Koto VII, Kabupaten Sijunjung. Surau ini disebut dengan Surau Syekh Muhammad Yasin karena surau tersebut didirikan oleh Syekh Muhammad Yasin. Tidak diketahui secara pasti tahun berapa Surau Syekh Muhammad Yasin didirikan, namun diperkirakan bahwa surau itu didirikan pada pertengahan abad ke-19, setelah Syekh Muhammad Yasin pulang menuntut ilmu dari Talawi kepada Syekh Muhammad Saleh Talawi selama 6 (enam) tahun. Sebelum menuntut ilmu kepada Syekh Muhammad Saleh Talawi, Syekh Muhammad Yasin terlebih dahulu menuntut ilmu kepada Faqih Ismail di Padang Ganting selama enam tahun.
Syekh Muhammad Yasin digelari dengan Malin Mandaro, selain itu ia juga dikenal dengan gelar Tuanku Qadi Gaek Tanjung Ampalu. Dari gelar yang terakhir ini dapat diketahui bahwa Syekh Muhammad Yasin memiliki posisi Qadi di daerah Tanjung Ampalu. Hal itu juga dapat dibuktikan dengan peninggalan-peninggalan manuskrip di Surau Syekh Muhammad Yasin yang secara umum didominasi oleh manuskrip-manuskrip fikih. Hingga sekarang, ditemukan 16 (enam belas) bundel manuskrip dan beberapa manuskrip yang telah rusak parah. Secara umum teks-teks manuskrip koleksi Surau Syekh Muhammad Yasin terdiri dari tema-tema keagamaan, seperti: fikih, tafsir, gramatikal Arab, dan tasawuf.

Surau Simaung

Surau Simaung terletak di Jorong Tapian Diaro, Kabupaten Sijunjung. Surau ini didirikan oleh Katab atau yang dikenal dengan Syekh Malin Bayang. Surau Simaung diperkirakan didirikan oleh Syekh Malin Bayang pada awal abad. Dinamakan Surau Simaung, karena surau itu didirikan di bawah pohon Simaung.
Syekh Malin Bayang adalah ulama yang memiliki genealogi keilman dari Surau Calau. Guru Syekh Malin Bayang adalah seorang khalifah Surau Calau yaitu Syekh Ahmad. Setelah Syekh Ahmad wafat, kekhalifan Surau Calau jatuh kepada Syekh Malin Bayang. Ketika Surau Simaung berdiri, Syekh Malin Bayang membagi waktunya untuk mengajar di Surau Calau dan di Surau Simaung. Syekh Malin Bayang wafat pada tanggal 1 November 1963 pada usia 100 tahun dan di makamkan dekat Surau Simaung.
Jejak kharismatik Syekh Malin Bayang semasa hidupnya masih dapat dijumpai hingga saat kini, dengan banyaknya penziarah yang datang ke Surau Simaung. Kegiatan ziarah ke Surau Simaung dimulai pada tanggal 13 Jumadil Akhir bertepatan dengan wafatnya Syekh Malin Bayang. Ziarah ini dilaksanakan selama 3 bulan oleh para Jamaah Tarekat Syattariyah di Minangkabau, karena Syekh Malin Bayang juga ulama yang mengajarkan dan menyebarkan tarekat Syattariyah di Minangkabau.
Selama 3 bulan itu ada sekitar 70 sampai dengan 120 rombongan setiap tahunnya dari enam provinsi; Sumatera Utara, Jambi, Riau, Lampung, Bengkulu dan Sumatera Barat. Satu rombongan paling sedikit terdiri dari belasan orang dan puluhan orang paling banyak yang menziarahi makam Syekh Malim Bayang.
Di Surau Simaung terdapat 88 (delapan puluh delapan) manuskrip. Manuskrip ini menjadi bukti jejak intelektual masa silam di Surau Simaung. Dalam salah satu bundel manuskrip koleksi Surau Simaung juga terdapat iluminasi di dalamnya.